Banda Aceh – Pada 1989 silam, Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh disingkat Bank BPD Aceh -kini Bank Aceh Syariah (BAS)- pernah menjadi perusahaan go public alias masuk ke dalam bursa efek dengan melakukan emisi obligasi yang dijual terbuka /TBK kepada masyarakat.
Saat itu, direktur utama bank milik pemerintah daerah tersebut dijabat oleh H Syamsunan Mahmud. “Kondisi moneter kala itu sedang tidak stabil sehingga bank mengalami kesulitan likuiditas,” ungkap Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman, Kamis 2 Juli 2020 di pendopo.
Menurut Aminullah yang saat itu ditunjuk sebagai ketua pelaksana go public tersebut, Bank Aceh melakukan kegiatan go public melalui emisi obligasi yang hanya sebesar Rp 5 miliar. “Saya mengetahui persis karena ditunjuk direksi sebagai ketua pelaksananya.”
Obligasi yang diterbitkan Bank Aceh berjangka waktu lima tahun, “dan laku keras di pasar bursa di bawah dukungan Ficorinvest -perusahaan yang bergerak di pasar efek saat itu,” ujar Aminullah yang menutup karir di Bank Aceh setelah menjabat direktur utama selama 10 tahun.
Dengan pengalaman tersebut, ujarnya lagi, maka setidaknya Bank Aceh sudah tercatat di pasar bursa saham sebagai bank yang mampu menjalankan amanah dengan baik.
Sebelumnya, Aminullah telah memberi masukan kepada jajaran direksi BAS untuk mengambil kebijakan yang pernah ia lakoni pada 1989 silam. “Ini untuk memenuhi modal setor Rp 3 triliun pada 2024 agar tidak turun peringkat menjadi bank BPR atau bank kecil nantinya.”
Hal dimaksud mengingat kemampuan setor modal dari pemilik untuk memenuhi Rp 3 triliun sangat minim. “Masih terjadi kekurangan sebesar Rp 1,9 triliun, atau rata-rata harus disetor oleh PSP maupun pemegang saham lainnya sebesar Rp 500 miliar per tahun,” ujarnya.
Dan berdasarkan pengalaman selama ini, para pemegang saham baru mampu menyetor Rp 100 miliar per tahun. “Hal itu sangat dimaklumi karena keuangan daerah juga harus membiayai pembangunan sektor lainnya,” kata Aminullah.
Jika pun seluruh deviden dibayarkan setiap tahunnya, maka baru terhimpun dana lebih kurang Rp 250 miliar, dan itu juga masih belum mampu mencapai modal minimum Rp 3 triliun. “Solusinya, Bank Aceh Syariah perlu berbenah untuk go public atau masuk bursa saham nasional agar ini terpenuhi,” katanya.
Di mata Aminullah, penerapan go public oleh BAS sangat mungkin dilakukan. “Pertimbangannya, ROE (return on equity) Bank Aceh Syariah sangat menjanjikan yaitu lebih dari 24 persen per tahun. Bank dalam keadaan sehat dan didukung oleh pemda untuk pendanaan ekspansi.”
Kemudian asetnya kini Rp 25 triliun dan memiliki modal Rp 1,1 triliun. “Dan hasil audit akuntan publik terhadap laporan keuangan juga sangat baik dengan meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP),” katanya.
“Lalu sebagaimana kita maklumi bersama bank ini sekarang telah beroperasi total secara syariah, dan tentu bank syariah telah teruji di masa krisis karena memiliki daya tahan yang lebih baik,” katanya lagi. (Jun)